Rumah Bisnis AA Kunto A

the great future is my right

Matang di Carter, Lirik Reguler

Tidak selamanya captive market itu menyenangkan dan menguntungkan. Pada titik tertentu, bisnis model ini akan mengalami titik kejenuhan. Selain itu, captive market juga menuntut kewaspadaan, karena tidak ada persebaran risiko. Ingat, kan, akan ungkapan “jangan menaruh telur di satu keranjang”?. Ini kisahnya.

Setelah puluhan tahun berkecimpung di bisnis penerbangan carter, Trigana Air tergiur wanginya pasar penerbangan reguler. Apa strategi yang diterapkannya?

Bagi pebisnis, terutama yang wilayah kerjanya Kalimantan dan Papua, nama Trigana Air tidak lagi asing. Reputasinya di bisnis penerbangan carter tidak perlu diragukan. Bukan hanya end user yang memanfaatkan jasanya untuk penerbangan tak berjadwal. Tak sedikit perusahaan penerbangan yang menyewa pesawatnya dalam jangka waktu tertentu untuk melayani rute reguler.

Reputasi lain terbangun berkat kerja sama dengan Kal Star. Bersama Kal Star, Trigana malah sudah lama merintis jalur penerbangan berjadwal. Berkat pengalamannya, Kal Star menangani pemasaran dan distribusi tiket, sedang Trigana fokus pada maintainance pesawat. Dengan strategi seperti ini, maka mulailah masyarakat mengenal Trigana Air sebagai maskapai yang juga melayani penerbangan reguler. Rute-rute yang dilayani adalah beberapa kota kecil di Kalimantan dan Jawa, seperti Pangkalan Bun–Ketapang–Tarakan–Sampit–Semarang–Surabaya–Yogyakarta–Bandung.

Pengalaman panjang bersama Kal Star membangkitkan gairah Trigana Air untuk juga membesarkan brand-nya. Jalan yang ditempuh adalah membuka penerbangan pendek Jakarta–Bandung. “Jika pada penerbangan lainnya distribusi tiket masih dipegang Kal Star, maka pada penerbangan ini keseluruhan proses ticketing dikelola sendiri,” ungkap Erwin Asmar, Deputy Managing Director Trigana Air. Ditambahkan Erwin, upaya ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai peniadaan terhadap Kal Star, melainkan upaya perusahaan ini untuk juga menjadikan lini distribusi sebagai profit center.

Penanganan tiket sendiri menjadi bagian dari keseluruhan strategi marketing yang hendak dijalankan perusahaan tersebut. Tanpa mau menyebut berapa bujet promosinya, Erwin memilih untuk tidak jorjoran dalam berpromosi. Ia hanya menyebut bahwa pasar pebisnis dari kalangan atas-lah yang dibidik. Yang kelihatan sebagai strategi untuk mendekati pasar ini adalah standar tarif yang lebih tinggi dari kompetitornya, Merpati dan Deraya.

Memang, sejak beroperasi 28 Januari lalu hingga sebulan masa promosi, tarif yang ditetapkan adalah Rp149.500, di bawah kompetitor. Lalu pada bulan Maret Rp170.000, rata-rata dengan kompetitor. Awal April lalu, ketika yang lain bertahan pada harga masing-masing, Trigana membanderol tarif Rp199.000. Dan sejak pertengahan April, tarif yang dibakukan adalah Rp226.500. Menurut Erwin, harga terakhir ini adalah harga yang sedari awal telah dikampanyekan sebagai harga normal.

“Kami ingin memberikan value for money dengan harga itu, terutama lewat service,” ujar Erwin. Di luar itu, Trigana mengandalkan pesawat ATR 42/300 berkapasitas 48 penumpang untuk melayani 5 kali penerbangan per hari Jakarta–Bandung pergi-pulang.

Agus Pramono, Komisaris PT Samudra Dwi Kandita, dalam penerbangan Jakarta–Bandung bersama saya menilai service memang menjadi persoalan krusial yang mesti diprioritaskan perusahaan jasa seperti airlines. Agus yang bekerja di bidang interactive sms, web solutions, dan CRM ini menilai kelebihan Trigana Air adalah kenyamanan saat penerbangan.

Di luar itu, ada persoalan yang cukup merepotkan. Salah satunya kebijakan bandara Halim Perdana Kusuma dan Bandara Husein Sastranegara Bandung yang belum berorientasi bisnis. Sebagai pangkalan TNI Angkatan Udara, pengelola bandara lebih mengutamakan kepentingan mereka. Seperti pagi itu, penerbangan pertama dibatalkan karena bandara Husein Sastranegara dipakai untuk upacara pergantian komandan Lanud. Hal serupa juga kerap terjadi di bandara Halim Perdana Kusuma, akibat penggunaan pangkalan ini sebagai lalu lintas pejabat negara.

Memang, beberapa penumpang yang dijumpai menyatakan kemafhumannya atas peristiwa itu. Namun, bagi operator penerbangan, situasi begitu dapat membahayakan investasi kepercayaan yang amat mahal. Apalagi dengan beroperasinya tol Cipularang, bisa-bisa penumpang potensial mereka kembali ke moda transportasi darat.

Ke dalam, meminjam teori Jack Trout, ada harga mahal yang harus dibayar Trigana Air untuk pengorbanan atributnya. Pengorbanan itu berupa keputusan untuk keluar dari fokus penerbangan carter menjadi juga melayani penerbangan reguler. Kedua, “membayar” nama besar Kal Star yang kadung lengket, dan membesarkan brand Trigana Air. Untuk mengatasi ini, Trout berpesan, “Produk Anda mungkin menawarkan lebih dari satu atribut, tapi pesan Anda harus fokus pada satu atribut yang ingin Anda tonjolkan.”

Salam Agung,

AA Kunto A

[artikel ini pernah dimuat di Majalah Marketing dan Kompas.com]

March 4, 2009 Posted by | CREATIVE MARKETING | , , , , , | Leave a comment